Menjelang perayaan ke-50 tahun Sekolah Menengah Atas Regina Pacis, Bogor, bulan Juli 2005, seorang siswanya, yakni Michael Adrian (18), mempersembahkan prestasi besar. Michael Adrian bersama tiga temannya, Ali Sucipto siswa SMA Xaverius I Palembang, Andika Utra dari SMA Sutomo I Madiun, dan Purnawirman pelajar SMA Negeri I Pekanbaru, meraih medali emas dalam Olimpiade Fisika Asia Ke-6 di Pekanbaru, Riau, awal bulan ini.
“Saya ingin menjadi peraih Nobel Fisika, yang merupakan penghargaan tertinggi bagi fisikawan. Hal ini juga merupakan harapan Pak Yohanes Surya, leader
kami, agar kelak muncul peraih Nobel Fisika dari Indonesia,” kata Michael Adrian, yang dipanggil “Michael” di sekolah dan punya sapaan sayang “Rian” di rumah, kepada Kompas, Rabu (4/5) siang.
Hari Itu merupakan kesempatan bagus bagi remaja laki-laki ini sejak ia masuk ke karantina pada Oktober 2004. Ia bisa menemui teman-temannya di sekolah dan juga menjumpai Nathalia Stefanie, siswi kelas III IPS 1 yang menjadi teman dekatnya. Pada Selasa malam dia pulang ke rumah menemui orangtuanya dan dua adiknya setelah acara penutupan Olimpiade Fisika Asia Ke-6. Pada hari Rabu ia menemui teman-temannya dan pada hari Kamis kembali masuk karantina di Gading Serpong, Tangerang, untuk mengikuti Olimpiade International Fisika XXXVI pada Juni di Kota Salamanka, Spanyol.
Michael Adrian mulai mencintai fisika setelah sekolah di SMA Regina Pacis, sedangkan di SMP Mardi Yuana Cibinong dia menyenangi matematika. Katanya, ia tidak mengalami kesulitan dalam mengerjakan soal teori maupun eksperimen pada Olimpiade Fisika Asia Ke-6 yang dibuka oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla, Selasa (26/4). “Saya mampu mengerjakan sebagian besar soal-soal teori, hanya ada satu soal, yakni nomor tiga, kok ada soal matematika, tidak fisika. Kami kan dilatih untuk mengerjakan soal- soal fisika,” kata anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Arianto Halim dan Lena Suriana, yang tinggal di Perumahan Taman Permata Palem Blok E 30, Cibinong, Kabupaten Bogor, ini.
Menurut Adrian, tim China lebih unggul dibandingkan dengan tim Indonesia. “Mereka digembleng sejak dini mulai dari SD. Indonesia kan tidak. Karena itu,
stok mereka cukup banyak. Setiap ada olimpiade fisika tingkat Asia maupun internasional selalu muncul stok baru. Sementara tim kita, di antaranya ada yang stok lama yang tahun lalu gagal, tahun berikutnya tampil kembali. Kalau Indonesia ingin berprestasi seperti China, ya harus mulai menggembleng kader sejak dini mulai dari SD seperti yang dilakukan China,” kata Adrian yang masuk Tim Olimpiade Fisika Indonesia setelah duduk di kelas III. Ketika masuk SMA, dia melihat fisika merupakan penerapan matematika yang bagus. “Kalau matematika itu abstrak tak bisa melihat hasilnya, sedangkan fisika kita
bisa mengetahui bagaimana alam itu bekerja,” ungkap Adrian.
Adrian yang mendapat dispensasi untuk mengikuti ujian akhir nasional mendatang di Bogor ini berangan-angan melanjutkan kuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB) untuk fisika, sedangkan untuk teknik ia memilih Universitas Nanyang di Singapura IBU Adrian, Ny Lena Suriana (43), bangga akan prestasi anak sulungnya, termasuk cita-citanya yang ingin menjadi peraih Nobel. “Cita-citanya memang setinggi langit, kami mendukung dan berdoa agar tercapai,” kata Lena. Sang ibu merasa gundah untuk membiayai studi Adrian ke tingkat lebih tinggi. “Kalau dia tak dapat bea siswa untuk masuk ke perguruan tinggi negeri, bagi kami keluarga yang tak berada ini repot juga. Bisa jadi meminta bantuan ke sana kemari kepada saudara-saudara …apalagi masuk perguruan tinggi swasta yang untuk masuk saja lebih dari Rp 10 juta, tak terjangkaulah,” kata Lena yang sehari-hari membikin kue kering berdasarkan pesanan dan membuat tepung gula halus. Suaminya bekerja di Jakarta, diajak temannya yang membuka usaha di bidang komputer.
Rumah di Cibinong yang mereka tempati sejak enam tahun lalu itu adalah rumah saudara Lena. Sebelumnya, mereka tinggal di Bekasi. “Di Bekasi, saya jualan
hasil bumi. Setelah usaha tak jalan, kami pindah ke Cibinong. Suami membuat tepung gula halus dan saya membuat kue kering berdasarkan pesanan,” kata Lena. Untuk uang sekolah, Adrian memperoleh keringanan sejak dia masuk karantina pada Oktober 2004. “Setelah saya mengajukan permohonan, mulai bulan November uang sekolahnya mendapat potongan 50 persen dari tiap bulan Rp 195.000,” kata Lena seraya menambahkan adik Adrian masing-masing, Vicky Christhoper Limarta, kini sekolah di SMA Regina Pacis kelas II, sedangkan yang bungsu, Cindy Lavena, kelas IV di SD Mardi Waluya Cibinong.
Menurut Lena, anak sulungnya belajar dengan santai, tetapi banyak membaca buku tentang fisika. Sepulang sekolah, pemilik cita-cita menjadi pemenang
Nobel Fisika ini membantu keluarga untuk menggerus tepung gula, yang seminggu bisa sampai lima kuintal. ADRIAN sendiri mengaku hanya menyimak pelajaran ketika guru mengajar di sekolah. Bila tak mengerti, ia langsung bertanya langsung. Ia tak pernah mengikuti pelajaran tambahan di luar sekolah. Hobinya bermain sepak bola dan berenang, tetapi ketika banyak temannya suka main biliar, dia sekarang juga mahir main bola sodok tersebut.
“Saya dan ayah Adrian serta kedua adiknya hanya bisa berdoa agar dia berhasil dalam Olimpiade Fisika mulai dari tingkat daerah, nasional, Asia, sampai
internasional nanti,” kata Lena. Kepada anaknya, Lena berseloroh agar wajahnya menjadi sebuah iklan seperti layaknya selebriti seperti pemenang AFI atau Indonesia Idol dan olahragawan yang berprestasi untuk menunjang biaya pendidikannya. “Perhatian pemerintah maupun swasta terhadap bidang ilmu tidak sebesar yang diberikan terhadap olahragawan,” kata Lena. (FX PUNIMAN)