Komunikasi data tanpa kabel, atau wireless, saat ini sudah de facto menjadi standar dari teknologi jaringan data komputer. Teknologi wireless yg diandalkan di pasaran saat ini pd umumnya menggunakan gelombang radio atau elektromagnetik sebagai media pembawa data. Teknologi elektromagnetik seperti Bluetooth, RFID dan Wi-Fi dgn mudah dpt kita temui di pasaran hari ini, dgn wujud produk dan harga yg sangat beragam.
Walaupun handal, Wi-Fi dianggap masih memiliki sejumlah kekurangan. Wi-Fi yg menggunakan gelombang elektromagnetik ini dianggap memiliki faktor keamanan yg rendah dan kecepatan yg dibatasi oleh bandwidth, yaitu ukuran volume data yg bisa ditransmisikan – dlm satuan bit per second (bps). Wi-Fi diklaim mudah diretas karena radius transmisinya yg cukup jauh dan dpt menembus tembok.
Sekelompok ilmuwan Eropa di bawah pimpinan Harold Haas pd tahun 2011 telah mempublikasikan ide tentang penggunaan gelombang cahaya sebagai media pembawa data yg mereka sebut Li-Fi (Light Fidelity). Dari pandangan fisika, kecepatan gelombang cahaya adalah lebih tinggi dari kecepatan gelombang elektromagnetik. Transmisi data dgn kecepatan tinggi ini bisa dilakukan melalui pancaran spektrum cahaya tampak, ultraviolet atau inframerah (Haas, 2017). Keunggulan jaringan data dgn media cahaya ini terletak pd segi keamanan data karena cahaya tampak hanya menjangkau daerah atau ruangan yg dibatasi oleh jangkauan sumber cahaya yg digunakan. Selain itu media cahaya membutuhkan infrastruktur dan peralatan yg lebih murah dibandingkan sarana jaringan elektromagnetik.
Tapi kenapa kok penggunaan media cahaya tsb relatif belum berkembang hingga saat ini ? Jika memang karena tidak ekonomis utk dikomersialkan, apakah tidak ada aplikasi khusus atau ceruk pasar tertentu di mana transmisi data dgn cahaya ini menjadi feasible dan efektif ? Pertanyaan terakhir adalah, apakah anak SMA boleh ikut ‘curious’ tentang masalah ini?
Itulah yg dilakukan oleh Marco, siswa XI MIPA dan Alden, siswa X MIPA, yg awalnya hanya ingin membuat peragaan laboratorium utk mendemonstrasikan ‘proof of concept’ dari potensi cahaya di atas. Mereka memunculkan usulan ini, selain karena mereka pengguna komputer aktif, mereka juga memiliki hobi membaca artikel-artikel ilmiah. Mental eksplorasi kedua siswa ini terlihat di atas rata-rata. Merekapun tertantang ketika kami minta juga utk lakukan kajian tentang aplikasi dan ceruk pasar yg tepat atas teknologi Li-Fi ini, lebih dari sekedar demo ‘proof of concept’. Mereka tertantang utk cari tahu mengapa Li-Fi belum berkembang secara komersial hari ini.
Proposal Marco dan Alden telah lolos 50 besar Lomba Karya Ilmiah Remaja (LKIR) – LIPI 2019, tersaring dari 3400-an proposal yg masuk dari seluruh Indonesia. Prestasi ini membuat mereka kini mendpt bimbingan langsung dari peneliti LIPI utk selesaikan penelitiannya hingga akhir September 2019 yad. Jika lolos lagi, mereka harus hadapi penjurian babak final pd Oktober 2019 dalam ajang Indonesia Science Expo (ISE) 2019 di Puspiptek Serpong.
Selamat menyelesaikan penelitian Marco dan Alden !
Sumber: Facebook